KALBAR.SATUSUARA.CO.ID (JAKARTA)
- Perilaku
hidup sehat dengan menjalankan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19
diharapkan dapat memberikan pengalaman dan pembelajaran berharga bagi
masyarakat Indonesia. Kebiasaan rajin mencuci tangan dan memakai masker saat
batuk atau flu sebaiknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan
hanya saat pandemi.
Meskipun COVID-19 telah
menjadi endemi, bukan berarti penyakit ini hilang sepenuhnya. Virus SARS-CoV-2
penyebab COVID-19 terus bermutasi sehingga masih memungkinkan seseorang
terpapar dan sakit.
Hal
tersebut disampaikan Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian
Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI),
Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, MHK-IM mengimbau masyarakat untuk
tetap waspada. Sebab, kasus COVID-19 masih terjadi pada masa endemi.
“Setelah pandemi
berakhir, kita jadi endemi. Ada terus (yang sakit COVID-19), tapi kasusnya
tidak banyak dan gejalanya tidak berat. Makanya, tetap waspada, jangan
menurunkan kewaspadaan,” pesan Prof. Hinky saat dihubungi dari Jakarta.
“Tetap rajin cuci
tangan, pakai masker kalau batuk atau orang yang batuk harus pakai masker.
Jangan terlalu lama di tempat kerumunan, jangan terlalu lama di tempat yang
ventilasinya buruk. Itu protokolnya, seumur hidup mesti kita lakukan. Jangan
menunggu sampai ada pandemi yang lain,”
imbuhnya.
Prof. Hinky
menjelaskan, infeksi COVID-19 terjadi ketika terjadi gangguan keseimbangan pada
tubuh. Proses terjadinya penyakit berawal dari interaksi antara agen penyakit
(virus), manusia (host), dan lingkungan sekitarnya.
“Ada host, agen
penyakit, dan daya tahan tubuh kita sama lingkungan. Kalau itu terganggu, ya,
kita jatuh sakit. Jika kita divaksinasi walaupun terinfeksi, sakitnya tidak
berat, tidak masuk ICU, tidak sampai sesak napas,” tegasnya.
“Virusnya akan ada
terus dan virus berubah (bermutasi). Karena itu, kita mesti waspada terus,
jangan lalai, jangan menganggap sudah divaksin bisa bebas, ya tetap waspada.
Vaksin bukanlah satu-satunya
cara untuk mencegah COVID-19. Faktor lain yang sama pentingnya, yakni perilaku
hidup sehat seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memastikan sirkulasi
udara yang baik.
“Itu semua ditambah
vaksin. Sehingga meskipun sudah divaksinasi, tapi kalau tidak pakai masker,
tidak menghindari kerumunan, ya, bisa saja kena. Kalau kita perhatikan, kita
melaksanakan protokol kesehatan juga vaksinasi itu jauh lebih baik dari
negara-negara lain di seluruh dunia,” kata Prof. Hinky.
Vaksin Tidak Sebabkan
Kekebalan Runtuh
Pada masa endemi
COVID-19, hoaks seputar vaksin masih beredar luas di media sosial. Salah satu
hoaks yang baru-baru ini beredar mengklaim bahwa melakukan vaksinasi COVID-19
sebanyak empat kali atau lebih akan meruntuhkan sistem kekebalan tubuh.
Menurut Ketua Komnas
KIPI Prof. Hinky Hindra Irawan Satari, klaim tersebut tidak benar. Prof. Hinky
mengatakan, data menunjukkan bahwa orang-orang yang mendapatkan vaksinasi ulang
justru memiliki risiko lebih rendah untuk terpapar COVID-19. Bahkan jika mereka
terpapar, gejalanya biasanya ringan.
“Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa vaksinasi ulang melemahkan sistem kekebalan tubuh,” tegas
Prof. Hinky.
Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) RI telah mengeluarkan edukasi tentang manfaat vaksin COVID-19. Pertama,
vaksin COVID-19 merangsang sistem kekebalan tubuh. Vaksin yang disuntikkan ke
dalam tubuh manusia akan merangsang timbulnya imun atau daya tahan tubuh
seseorang.
Kedua, vaksin COVID-19
mengurangi risiko penularan. Tubuh seseorang yang telah disuntikkan vaksin akan
merangsang antibodi untuk belajar dan mengenali virus yang telah dilemahkan
tersebut. Dengan demikian, tubuh akan mengenali virus dan mengurangi risiko
terpapar.
Ketiga, vaksin COVID-19
mengurangi dampak berat dari virus. Dengan kondisi kekebalan tubuh yang telah
mengenali virus, jika sistem imun seseorang kalah dan kemudian terpapar, maka dampak
atau gejala dari virus tersebut akan mengalami pelemahan.
Keempat, mencapai
kekebalan kelompok atau herd immunity. Semakin banyak individu yang melakukan
vaksin di sebuah daerah atau negara, maka kekebalan kelompok akan tercapai
sehingga meminimalisir risiko paparan dan mutasi dari virus COVID-19.
Tidak Ada Laporan
Kematian Masif Akibat Vaksin
Klaim menyesatkan yang
beredar di media sosial menyebutkan bahwa penerima vaksin COVID-19 mRNA akan
meninggal dalam 3 atau 5 tahun. Narasi mengenai prediksi kematian akibat vaksin
mRNA ini keliru atau tidak benar.
“Setelah pemberian
vaksin COVID-19 dilakukan Post-Marketing Surveillance (PMS), dilihat keadaan
orang yang menerima vaksin. Apabila dihitung sekarang, sudah lebih dari 3 tahun
vaksin itu diberikan,” jelas Prof. Hinky.
“Kalau ada kematian
secara masif (akibat vaksin) pasti sudah ada datanya di Post-Marketing
Surveillance. Sampai saat ini, belum ada laporan di jurnal atau Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) tentang kematian masif setelah 3 tahun karena vaksin
mRNA, tidak ada satupun laporannya. Di Indonesia, juga tidak ada laporan
seperti itu.”
Pada 2022, sebuah video
yang beredar di media sosial mengklaim bahwa vaksin COVID-19 mRNA dapat
menyebabkan kematian pada lansia di atas 70 tahun dalam 2 hingga 3 tahun
setelah vaksinasi. Pernyataan dalam video tersebut adalah tidak benar.
Hingga kini, belum ada
hasil penelitian yang dapat membuktikan kematian pasca-vaksinasi disebabkan
oleh vaksin secara langsung. Kasus kematian pasca-vaksinasi dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti usia, hormon, dan penyakit bawaan.
“Itu juga tidak benar,
ya. Kematian lansia mungkin akibat komorbid atau memang dia terinfeksi
COVID-19. Sampai sekarang, tidak ada laporan soal vaksin COVID-19 mRNA
menyebabkan kematian pada lansia,” ucap Prof. Hinky. (Sumber : Humas Kemenkes RI).
Editor : Salsa
Social Footer