Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. M Syahril |
KALBAR.SATUSUARA.CO.ID (JAKARTA)
- Negosiasi
Pandemic Treaty atau perjanjian pademi resmi diperpanjang, sesuai kesepakatan
Sidang World Health Assembly (WHA) ke-77 pada 1 Juni 2024. Penetapan target
penyelesaian Pandemic Treaty diundur hingga Sidang WHA tahun depan.
Juru Bicara Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) dr. M Syahril menegaskan komitmen Indonesia untuk
mengedepankan kepentingan nasional dalam negosiasi Pandemic Treaty. Fokus utama
diarahkan pada isu-isu strategis seperti sistem surveilans, transfer teknologi,
dan kesetaraan akses dalam menghadapi pandemi.
“Prinsip kesetaraan
antara negara maju dan negara berkembang akan terus kami dorong dalam proses
negosiasi ini,” jelas dr. Syahril.
Secara spesifik, ada
empat poin yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam komponen Pandemic
Treaty, yakni Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS), instrumen One Health,
transfer teknologi, dan pendanaan. Empat poin ini terkait dengan kesenjangan
antara negara maju dan berkembang.
Mengenai PABS, yang
menunjukkan kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi, Pemerintah Indonesia
mendorong agar setiap data sharing, khususnya yang melibatkan patogen dan
informasi sekuens genetik (genetic sequence information), disertai pembagian
manfaat (benefit-sharing) yang setimpal.
Selain itu, pemerintah
juga mendorong adanya upaya untuk memastikan adanya pengaturan internasional
mengenai standar data dan interoperabilitas, di mana Indonesia telah
menginisiasi Material Transfer Agreement (MTA) untuk spesimen virus avian
influenza (flu burung).
Selanjutnya, Pemerintah
Indonesia mendorong pembentukan instrumen One Health untuk mengatur kesehatan
manusia, hewan, dan lingkungan secara komprehensif yang dapat dilaksanakan
negara berkembang dengan dukungan negara maju.
Kemudian, Pemerintah
Indonesia mendorong transfer teknologi yang berkeadilan untuk kebutuhan
kesehatan masyarakat. Transfer teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah
Indonesia dan negara berkembang untuk menjadi hub dalam membangun kapasitas
manufaktur lokal guna menciptakan kemandirian dalam produksi vaksin, terapi,
dan diagnostik (VTD).
Mengenai perizinan,
Indonesia mendorong perizinan yang bersifat transparan dan non-eksklusif,
khususnya saat pandemi. Selain itu, Indonesia mendorong upaya untuk memastikan
agar teknologi dan inovasi dapat diakses oleh negara yang membutuhkan, termasuk
negara berkembang.
Mengenai pendanaan,
Pemerintah Indonesia mendukung pentingnya pendanaan yang setara dan dapat
diakses oleh seluruh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang, untuk
implementasi Pandemic Treaty. Pendanaan ini dapat dilakukan melalui mekanisme
pembiayaan yang telah ada seperti Pandemic Fund dengan sedikit penyesuaian sesuai
dengan konteks Pandemic Treaty.
Indonesia akan
mengupayakan agar negosiasi Pandemic Treaty selesai secepatnya. Indonesia juga
akan terus memperjuangkan kesetaraan akses untuk mendorong transfer pengetahuan
dan teknologi antar negara sehingga dapat membangun kapasitas industri farmasi
dengan prinsip dasar yang menjamin kesetaraan (equity) antara negara maju dan
berkembang.
“Pada saat bersamaan,
Pemerintah RI akan terus memperkuat legislasi di tingkat nasional agar siap
menghadapi ancaman pandemi lainnya,” kata dr. Syahril.
Bersamaan dengan
perpanjangan negosiasi Perjanjian Pandemi, disepakati pula amendemen
International Health Regulations (IHR). Dengan amendemen ini, seluruh negara
anggota WHO diharapkan lebih mampu mempersiapkan diri untuk deteksi dan respons
terhadap berbagai kedaruratan kesehatan yang memiliki dampak internasional.
Prinsip kesetaraan dan
solidaritas yang menjadi dasar amandemen IHR diharapkan dapat mendorong
penanganan pandemi dan situasi kegawatdaruratan lainnya secara kolektif dan merata. (Sumber : Humas Kemenkes RI).
Editor : Salsa
Social Footer