KALBAR.SATUSUARA.CO.ID (PONTIANAK) - Suku jawa adalah suku terbesar dalam Populasi di rantau
nusantara, tersebar di seluruh
nusantara baik di Indonesia , Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, bahkan di
luar negeri seperti di Hongkong , Taiwan, Suriname, Belanda, Arab Saudi.
Suku Jawa tidak
dinisbatkan kepada seluruh penduduk pribumi penghuni pulau Jawa. Di pulau Jawa
sendiri terdapat beberapa suku bangsa lain selain suku Jawa. Sebutan bagi suku
Jawa lebih identik bagi masyarakat yang memegang teguh filosofis atau pandangan
hidup Kejawen.
Secara geografis
meliputi Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Jawa Timur pun juga masih
varian karena di dalamnya masih ada suku Madura, suku Tengger maupun Suku Osing
di Banyuwangi. Kebudayaan suku Jawa merupakan hasil dari peninggalan sejarah
kerajaan besar Jawa khususnya Majapahit dan Mataram Baru.
Filosofis hidup suku
Jawa yang paling dasar sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, Budha dan juga
kepercayaan animisme-dinamisme. Orang jawa pada umumnya sangat menjunjung
tinggi keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup baik terhadap sesama
manusia maupun dengan lingkungan alam.
Dalam etika keseharian
sangat mengedepankan norma kesopanan, kesantunan dan kesederhanaan. Oleh sebab
itu, dialog bahasa Jawa memiliki beberapa tingkatan bahasa sesuai dengan lawan
bicara yang dihadapi.
FILOSOFIS HIDUP
Orang jawa pada dasarnya
memiliki banyak sekali filsafat hidup yang dijadikan sebagai pedoman
bermasyarakat. Namun terdapat tujuh filosofis dasar yang setidak-tidaknya
menggambarkan perilaku budaya suku Jawa, yaitu :
Urip Iku Urup, (Hidup
Itu Menyala).
maknanya adalah bahwa
hidup sebagai manusia haruslah memiliki manfaat bagi manusia lain dan
lingkungan alam sekitar.
Ojo Keminter Mengko
Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko
(Jangan Menjadi Orang
Yang Sombong Dengan Kepandaian Dan Jangan Menyakiti Orang Agar Tidak
Dicelakai), maknanya hidup haruslah rendah hati dan selalu sportif.
Ojo Ketungkul Marang
Jenenge Kalenggahan, Kadunyan Lan Kemareman
(jangan menjadi orang
yang hanya mengejar jabatan, harta dan kenyamanan), maknanya jangan terlalu
mengutamakan jabatan/pangkat, harta dan kenikmatan dunia.
Wong Jowo Kuwi Gampang
Ditekak-tekuk,
(Orang Jawa Itu Mudah
Untuk Diarahkan), maknanya bahwa orang Jawa itu mudah untuk beradaptasi dengan
berbagai situasi lingkungan.
Memayu Hayuning Ing Bawana,
Ambrasta Dur Hangkara
(Membangun Kebaikan Dan
Mencegah Kemungkaran), maknanya adalah hidup didunia harus banyak-banyak
membangun atau memberi kebaikan dan memberantas sikap angkara murka.
Mangan Ora Mangan Sing
Penting Kumpul
(Kebersamaan Harus
Diutamakan), maknanya adalah bahwa kebersamaan dan gotong royong itu lebih
penting dari yang selainnya.
Nrimo Ing Pandum,
(Menerima Pemberian
Dari Yang Kuasa), maknanya adalah harus selalu bersyukur terhadap apa yang
sudah dimiliki dan diberikan oleh Tuhan.
AJARAN KEJAWEN
Kejawen bagi masyarakat
Jawa asli sudah hampir menjadi seperti agama tersendiri. Ajaran kejawen pada
dasarnya merupakan kompilasi dari Seni, Budaya, Adat Ritual, Sikap Sosial,
serta berbagai pandangan filosofi masyarakat Jawa.
Bagi masyarakat Jawa
yang masih memegang teguh ajaran asli kejawen, panutan ajaran ini menjadi nilai
spiritualitas tersendiri. Masyarakat Jawa banyak memiliki kitab kejawen yang
disadur dari kitab-kitab karya para Mpu pada masa kerajaan Jawa.
Syekh Siti Jenar yang
terkenal dengan konsep gagasan ‘Manunggaling Kawula Lan Gusti’, merupakan salah
satu tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari munculnya ajaran kejawen.
Sebagai inti ajaran,
kejawen mengajarkan manusia pada apa yang disebut ‘Sangkan Paraning Dumadhi’ (Kembali
Kepada Sang Pencipta). Kemudian membentuk dan mengarahkan manusia untuk sesuai
dengan Tuhannya (Manunggaling Kawula Lan Gusti). Bahwa setiap manusia harus
bertindak sesuai dengan tindakan dan sifat Tuhan.
Untuk mencapai tujuan
tersebut maka orang Jawa biasa melakukan ’laku’ atau tindakan untuk membentuk
pribadi yang sesuai dengan Tuhan. Diantaranya adalah dengan melakukan ‘pasa’
atau berpuasa dan juga ‘tapa’ atau melakukan pertapaan. Disinilah letak kejawen
sebagai bentuk spiritualitas suku Jawa.
WAYANG KULIT
Wayang kulit merupakan
salah satu kebudayaan suku Jawa yang cukup khas. Wayang sendiri berasal dari
kata ‘Ayang-Ayang´ yang artinya adalah bayangan (baca juga : sejarah wayang
kulit).
Wayang kulit Jawa
memiliki perbedaan dengan wayang golek Sunda (baca : sejarah wayang golek).
Bagi suku Jawa, cerita pewayangan selalu menggambarkan bentuk kehidupan manusia
di dunia, yakni peperangan terhadap angkara murka dan perjuangan untuk
membangun kebaikan.
Hal itu sesuai dengan
prinsip filosofis hidup yang selalu dipegang teguh oleh orang Jawa. Permainan kesenian wayang kulit mulai tersebar luas ketika para
wali songo sering menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah Islam.
Pada umumnya cerita dan
penokohan pada kesenian wayang kulit diambil dari kisah Mahabarata dan
Ramayana. Namun dalam versi pewayangan Jawa, cerita tersebut sudah banyak
dilakukan perubahan.
Wayang purwa sebutan
lain bagi wayang kulit biasa dimainkan oleh seorang narator yang disebut
dalang. Dalang ini bertugas untuk mengatur jalannya cerita dan memainkan gerak
para tokoh wayang kulit.
Selain memiliki unsur
kesenian, wayang kulit juga dipercaya oleh orang Jawa memiliki nilai magis
tersendiri. Pagelaran wayang kulit dipercaya mampu mendatangkan
kekuatan-kekuatan magis dari arwah leluhur ataupun kekuatan magis yang berasal
dari Tuhan.
Maka dari itu pagelaran
wayang kulit merupakan media utama ketika orang Jawa melakukan ruwatan. Ruwatan
merupakan bentuk acara atau upacara untuk membuang ‘bala’ (kesulitan dan
kesialan). Dengan diruwat orang Jawa berharap kehidupannya bisa keluar dari segala
kesulitan dan bencana.
KERIS
Keris merupakan senjata
tradisional suku Jawa. Keris sendiri selain sebagai senjata tradisional suku
Jawa juga menjadi lambang kedaulatan beberapa raja-raja di kerajaan luar Jawa.
Bagi orang Jawa, keris
tidaklah sesederhana hanya merupaka senjata saja. Lebih dari itu, keris
merupakan senjata pusaka yang diyakini oleh sebagai orang memiliki atau
menyimpan kesaktian. Oleh sebab itu keris disebut juga sebagai ‘Tosan Aji’ (alat
yang memiliki kesaktian).
Dalam beberapa legenda
sejarah terdapat beberapa keris yang dianggap begitu istimewa. Keris Mpu
Gandring yang direbut oleh Ken Arok, mampu menjadikan Ken Arok sebagai penguasa
kerajaan Singasari.
Keris Nagasasra dan
keris sabuk Inten yang terkenal dari kerajaan Demak. Keris Sunan Kudus yang
disebut ‘sunan kober’ dan merupakan senjata pamungkas dari Arya Penangsang juga
telah mampu memberikan kekuasaan.
Sebagai ‘Tosan Aji’,
keris begitu sangat dipercayai kesaktiannya karena proses pembuatannya yang
dilakukan oleh para Mpu (sebutan bagi pembuat keris) senantiasa diiringi dengan
laku spiritualitas seperti puasa dan bertapa.
Selain kemampuan
meracik kualitas bahan material, para Mpu juga memasukkan berbagai mantra dan
do’a pada keris yang dibuatnya. Bahkan jumlah ‘luk’ (lekukan) yang ada pada
keris menyimpan makna kesaktian yang tersembunyi.
AKSARA JAWA
Suku Jawa memiliki huruf
tulisan yang disebut dengan aksara Jawa. Aksara Jawa terdiri dari 20 karakter
huruf yang menyimpan makna dan filosofi masing-masing. Huruf-huruf tersebut
adalah Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga.
Banyak sekali versi
sejarah dan legenda yang mengemukakan asal-usul munculnya aksara Jawa ini.
Namun yang paling terkenal diantara kalangan masyarakat Jawa adalah cerita
babad Ajisaka.
Babad Ajisaka
mengisahkan tentang pengembaraan seorang penguasa kerajaan Jawa Kuno yang
didampingi oleh seorang abdi (pembantu). Dalam perjalanannya, Ajisaka
meninggalkan keris miliknya di tengah hutan dan menyuruh abdinya tersebut untuk
menjaga keris tersebut dan jangan sampai diberikan kepada siapapun kecuali pada
Ajisaka sendiri.
Ajisaka kemudian
melanjutkan pengembaraannya seorang diri.
Setelah sekian waktu,
Ajisaka kembali ke kerajaan dan setelah sekian lama memerintah kerajaan ia baru
teringat akan keris pusakanya yang ia tinggalkan semasa pengembaraan. Dari situ
lantas Ajisaka mengutus seorang utusan untuk pergi ke hutan mengambil keris
tersebut. Ia berpesan pada utusannya bahwa jangan sampai kembali ke kerajaan
sebelum ia membawa keris pusakanya.
Di tengah hutan utusan
kerajaan ini mendapati keris pusaka Ajisaka yang tengah dijaga oleh seorang
abdi. Kedua orang yang pada hakekatnya merupakan utusan Ajisaka ini kemudian
saling berebut keris karena mereka sama-sama memegang teguh amanah perintah
majikannya.
Dua orang ini kemudian
terlibat pertarungan yang menjadikan keduanya tewas. Ajisaka baru teringat
kalau ia meninggalkan keris tersebut bersama dengan salah satu abdi setianya.
Ajisaka menyusul ke dalam hutan, namun ia mendapati kedua utusannya telah
tewas.
Untuk menghormati
utusannya yang setia inilah kemudian Ajisaka merumuskan tulisan yang kemudian
dikenal sebagai aksara Jawa. Filosofisnya,
HaNaCaRaKa : Terdapat
Dua Utusan Setia
DaTaSaWaLa : Saling
Berkelahi/Bertarung
PaDaJaYaNya : Sama-Sama
Saktinya
MaGaBaThaNga : Sama-Sama
Matinya
BAHASA JAWA
Bahasa Jawa merupakan
salah satu bahasa yang memiliki stratifikasi atau tingkatan bahasa. Orang Jawa
sangat menjunjung tinggi etika kesopanan dan kesantunan termasuk dalam hal
berbahasa.
Dalam bahasa Jawa
dikenal yang namanya undhak-undhuk atau tata krama di dalam bertutur kata. Setidaknya
terdapat tiga struktur tingkatan bahasa yang ada dalam bahasa Jawa, tingkatan
tersebut :
NGOKO
Bahasa Ngoko merupakan
bahasa yang digunakan apabila lawan bicara merupakan orang yang sebaya umurnya
atau kerabat yang sudah dekat dan akrab. Secara khusus juga digunakan oleh
orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda.
MADYA
Bahasa Madya merupakan
bahasa yang digunakan kepada lawan bicara yang umurnya lebih tua atau sekadar
penghormatan kepada orang yang sama sekali kurang dikenal.
KRAMA
Bahasa Krama merupakan
tingkatan tertinggi dalam bahasa Jawa. Digunakan untuk berbicara kepada orang
yang yang lebih tua atau dituakan, serta kepada orang yang memiliki status
sosial tinggi di masyarakat.
Bahasa Jawa sendiri
masih terbagi kedalam beberapa dialek yang berbeda-beda. Seperti dialek orang
Jawa di Jawa Timur dengan orang Jawa di Jawa Tengah atau Jawa Barat, memiliki
struktur pengucapan dan logat yang berbeda.
Namun prinsip undhak
undhuk masih tetap berlaku meskipun dialek dan pengucapan memiliki perbedaan.
SENI TARI
Orang Jawa dikenal
sebagai masyarakat yang berbudaya.
Sangat banyak sekali
seni tari yang merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa masyarakat Jawa.
Bahkan antara orang Jawa di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, memiliki
tarian khasnya masing-masing.
Benang merah seni tari
suku Jawa terletak pada tata tari yang luwes, kalem dan santun. Menggambarkan
filosofis hidup suku Jawa yang cenderung menerima, selalu adaptif dengan segala
situas dan kondisi serta mengutamakan tata krama.
Sebagaimana kepercayaan
yang dianut suku Jawa, dalam kesenian tari yang diciptakan pun tidak terlepas
dari unsur magis dan sakralitas. Kesenian tari seperti reog, tari sintren, tari
kuda lumping merupakan contoh kesenian tari yang sangat kental dengan kekuatan
supranatural.
Di lingkungan keraton
Jogjakarta dikenal tari ‘bedhaya ketawang’ yang sangat disakralkan oleh orang
Jawa disana. Sakralitas ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa tari bedhaya
ketawang ini sengaja diciptakan oleh Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan
sebagai bentuk suguhan bagi penguasa Kerajaan keraton Jogja penguasa tanah
Jawa.
Tarian ini ditarikan
oleh 9 orang wanita dan hanya dipentaskan untuk acara-acara tertentu saja yang
berkaitan dengan hajat keraton/kerajaan. Pagelaran tari bedhaya ketawang
diiringi oleh musik gamelan yang ritmenya sangat halus dan pelan.
Gerakan tarinya pun
juga sangat halus, sehingga membuat orang yang melihatnya seolah-olah tersihir
dengan gerak dan alunan musiknya . Dipercaya bahwa ketika dilakukan pagelaran
tari ini, secara supranatural Nyi Roro Kidul selalu hadir dan ikut menari
bersama dengan 9 wanita yang menarikan tarian ini.
SENI MUSIK
Alat musik tradisional
Jawa biasa disebut dengan gamelan. Gamelan sendiri merupakan gabungan dari
beberapa alat musik pukul seperti gong, kendang, saron, bonang, kenong, demung,
slenthem, gambang serta kempul.
Gamelan biasa digunakan
untuk mengiringi kesenian tari atau kesenian suara yang biasa disebut dengan
karawitan. Gamelan juga biasa digunakan sebagai pengiring pagelaran wayang
kulit.
Pada zaman dahulu alat
musik gamelan biasa dijadikan media dakwah para walisongo. Mereka menggunakan
gamelan sebagai alat untuk memberi hiburan kepada masyarakat sebelum atau
sesudah mereka memberikan ceramah-ceramah agama.
Dengan media ini masyarakat
Jawa mudah untuk dikenalkan dengan Islam dan sekarang mayoritas Suku Jawa
merupakan orang-orang yang memeluk Islam. Selain di Jawa alat musik gamelan
juga dikenal pada beberapa suku bangsa yang lain seperti pada kebudayaan Sunda,
bahkan kebudayaan Suku Banjar yang ada di luar Jawa juga menggunakan gamelan
sebagai salah satu alat musiknya.
Kebudayaan Suku Jawa
merupakan salah satu yang tertua di Indonesia.
Banyak sekali kebudayan
suku bangsa lain di Indonesia yang sedikit banyak berakulturasi dengan budaya
masyarakat Jawa. Baik dalam bahasa, filosofis, maupun kesenian-keseniannya.
Hingga saat ini
adat-istiadat suku Jawa ini masih sangat dipegang teguh dan terus ditradisikan,
khususnya dalam lingkungan Keraton daerah istimewa Jogjakarta. "WONG JOWO OJO ILANG JAWANE" (Sumber : Paguyuban Jawa Kalimantan Barat).
Social Footer