Kuasa Hukum Natalria Tetty Swan Siagian, Direktur CV SWAN |
KALBAR.SATUSUARA.CO.ID (PONTIANAK) – Sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri Pontianak
kembali diselenggarakan pada Jumat (15/11/2024), dengan agenda pembuktian dari
pihak termohon praperadilan. Praperadilan ini diajukan oleh Natalria Tetty Swan
Siagian, Direktur CV SWAN, atas dugaan pelanggaran hukum dalam penghentian
penyidikan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang melibatkan Muda
Mahendrawan. Natalria menuntut keadilan atas pengabaian dirinya sebagai korban
utama dalam proses restorative justice yang dilakukan.
Sidang
ini menyoroti penghentian penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tanpa
melibatkan korban utama, Natalria. Termohon menghadirkan saksi yang ditolak
oleh pihak pemohon dengan alasan bahwa saksi tersebut adalah penyidik yang juga
menjadi termohon dalam perkara ini.
Dari
jalannya sidang terungkap bahwa termohon mengakui saksi pelapor mengatasnamakan
CV SWAN dalam laporan polisi. Termohon juga sepakat bahwa Surat Perintah Kerja
(SPK) memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi dibandingkan dengan MoU
yang diajukan Iwan Darmawan. Namun, tidak ada dokumen yang diberikan termohon
yang membuktikan bahwa Iwan Darmawan merupakan korban. Sehingga dalil termohon
yang menyebutkan Iwan Darmawan sebagai korban dinilai sebagai kebohongan oleh
pemohon karena tidak didukung bukti konkret.
Pendapat
Ahli Pidana Menjadi Sorotan
Ahli
pidana yang dihadirkan oleh termohon dinilai berpihak oleh pihak pemohon.
Ketika ditanya terkait keabsahan restorative justice yang dilakukan tanpa
melibatkan korban utama, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8
Tahun 2022, ahli menyatakan tidak dapat menjawab karena bukan kewenangannya.
Pemohon
menilai bahwa jawaban ini tidak memadai, mengingat pertanyaan yang diajukan
terkait penafsiran peraturan yang jelas diatur hukum.
Kontroversi
SP3 dan Peran Muda Mahendrawan
Pada
Agustus 2024, Polda Kalimantan Barat menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian
Penyidikan (SP3) yang menguntungkan Muda Mahendrawan dan Urai Wisata, dengan
alasan adanya kesepakatan restorative justice. Namun, Natalria yang mengklaim
mengalami kerugian besar akibat tindakan tersebut merasa diabaikan.
“Proses
restorative justice ini tidak melibatkan klien kami sebagai korban utama,
tetapi justru melibatkan pelapor lain, Iwan Darmawan, yang bukan korban
langsung. Ini mencederai prinsip keadilan,” ujar Zahid Johar Awal, S.H., kuasa
hukum Natalria.
Zahid
menegaskan bahwa restorative justice yang dilakukan melanggar Peraturan
Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024
yang mengharuskan korban utama dilibatkan dalam proses tersebut.
Menurutnya,
CV SWAN adalah pihak yang dirugikan, bukan pelapor lain yang disebut dalam SP3.
Kritik
atas Proses Penyidikan
Nunang
Fattah, S.H., anggota tim hukum Natalria, menyatakan bahwa penyidikan yang dilakukan
menunjukkan penyimpangan baik secara materiil maupun formil.
“Secara
materiil, hasil penyidikan tidak mencerminkan kenyataan. CV SWAN mengalami
kerugian besar, namun justru Iwan Darmawan, yang bukan korban utama, yang
menerima kompensasi,” jelasnya.
Ia juga
menekankan bahwa secara formil, proses perdamaian dilakukan dengan pihak yang
tidak memiliki kapasitas sebagai korban.
“Ini
seperti dagelan hukum. Bagaimana mungkin pelapor yang bukan korban utama
mendapat pemulihan, sementara korban yang sebenarnya diabaikan?” tambah Nunang.
Bukti
dan Fakta di Persidangan
Dalam
sidang dengan nomor perkara 14/Pid.Pra/2024/PN Ptk, tim hukum Natalria
membeberkan sejumlah bukti, termasuk lima SPK dan kuitansi pembayaran yang
menunjukkan kerugian CV SWAN. Termohon yang menghadirkan saksi penyidik justru
memperkuat dugaan adanya konflik kepentingan dalam proses penghentian
penyidikan.
“Fakta-fakta
ini semakin memperjelas bahwa penghentian penyidikan mengabaikan prinsip
keadilan dan mengutamakan kepentingan pihak tertentu, termasuk tersangka Muda
Mahendrawan,” tegas Zahid. (tim liputan).
Editor : Suroso
Social Footer