Surat Cinta Untuk Guru |
KALBAR.SATUSUARA.CO.ID (PONTIANAK) - Kisah ini bermula di sebuah sekolah sederhana, SDN
4 Baito, yang tersembunyi di lekuk tanah Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Di
sana, di antara tawa dan langkah kecil para murid, ada sosok seorang guru
bernama Supriyani. Dalam setiap guratan wajahnya, tersimpan kisah pengabdian
tanpa pamrih, peluh pengajaran, dan mimpi-mimpi kecil yang disemai dalam hati
murid-muridnya. Selama 16 tahun, ia berdiri di ruang kelas itu, menyulam huruf
dan angka menjadi jembatan harapan bagi anak-anak yang memandangnya dengan mata
penuh kepercayaan.
Namun, sebuah badai datang tanpa
aba-aba. Supriyani dituduh melakukan kekerasan pada seorang murid, anak dari
Aipda WH. Tuduhan yang menampar namanya seperti angin keras mengempas sebatang
pohon tua. Ia terseret arus pengadilan, diselimuti ketidakpastian dan rasa malu
yang menyelimuti langit hatinya. Meski begitu, ia kembali ke sekolah itu,
mencoba menepis rindu yang mengalir seperti sungai di dada.
Kepulangannya disambut haru oleh
murid-muridnya. Mereka tidak hanya menantikan kehadiran guru yang mengajarkan
abjad, tetapi sosok ibu kedua yang menyalakan lentera kecil di hati mereka. Tak
ada yang menyuruh, tak ada yang memaksa, namun puluhan surat dengan coretan
tangan kecil telah menanti Supriyani, menggantung harapan di langit yang
kelabu. Kata-kata mereka bukan hanya tinta di kertas, melainkan darah dan napas
kasih sayang yang mereka punya.
Sebuah surat sederhana, ditulis
dengan lugu, mencuri perhatian Supriyani. Isinya menghentak jantungnya yang
ringkih:
"I Love You Untuk Guruku
Supriyani Tersayang Kita semua kangen sama Bu Guru Kita semua pengen belajar
sama Bu Guru Supriyani Semoga urusannya bisa selesai. Dan semoga dosa-dosanya
diampuni sama Allah SWT."
Tak ada kilau emas, tak ada sorak
pujian, hanya kata-kata polos yang menyayat hati. Di surat lain, seorang murid
menulis penuh kegetiran yang seharusnya tak perlu dikenal anak seusianya:
"Untuk Guruku Supriyani
Tersayang Kita semua kangen banget sama Bu Guru Supriyani Kita pengen belajar
terus sama Bu Guru dan membersihkan bareng sama Bu Guru. Semoga urusannya cepat
selesai. Sampai akhir hidup kita akan dukung terus Bu Guru. Selamat pulang
guruku."
Saat kata-kata itu menggema di
hatinya, Supriyani hanya bisa menghapus air mata. Bukan air mata kelemahan,
melainkan air mata cinta dan kekuatan yang mengalir di sela-sela senyumnya yang
perih. Di luar sana, dunia terus berputar seakan tak peduli, namun di ruangan
itu, waktu seolah terhenti, memberikan mereka kesempatan untuk merenung dan
mengucap syukur atas kehadiran satu sama lain.
Supriyani, guru yang hanya digaji
Rp300 ribu per bulan, tetap berdiri dengan keberanian yang tak bisa diukur oleh
angka. Di ruang kecil sekolah itu, ia menemukan makna pengabdian yang
sebenar-benarnya: bukan tentang gaji, bukan tentang kehormatan, tetapi tentang
cinta yang tulus, yang tetap hidup di antara hati-hati kecil yang ia didik dan
cintai.
Saat malam datang menjemput, di
kamarnya yang sederhana, Supriyani membaca kembali surat-surat itu. Hatinya
teriris dan sembuh berkali-kali. Ia tahu, apa pun yang terjadi nanti, ia tidak
sendiri. Puluhan doa dari murid-murid yang menyebut namanya, mengalir tanpa
henti, membawanya pulang ke pelukan
mimpi-mimpi yang tidak pernah ia tinggalkan. #camanewak.
Penulis : Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)
Social Footer